Kehidupan Hoegeng sebagai perwira polisi hanya pas-pasan. Oleh karena
itu, istri Hoegeng, Merry Roeslani, membuka toko bunga untuk membantu
perekonomian keluarga. Dan toko itu cukup laris. Namun, Hoegeng melarang
sang istri melanjutkan toko itu. `Perintah` itu dikeluarkan sehari
menjelang dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (kini jabatan ini
disebut dirjen imigrasi) tahun 1960.
Merry tentu saja bertanya, mengapa toko itu harus ditutup. Apa
hubungannya jabatan kepala jawatan imigrasi dengan dengan toko bunga?
"Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang
pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang
lainnya," jelas Hoegeng. Mendapat penjelasan itu, Merry pun bisa
memahami dan mendukung suaminya untuk hidup jujur dan bersih. Dia rela
menutup toko bunga yang sudah maju dan besar itu. "Bapak tak ingin
orang-orang beli bunga di toko itu karena jabatan bapak," kata Merry.
Dirayu Pengusaha
Sebagai pejabat, Hoegeng pernah merasakan godaan suap. Dia pernah dirayu
pengusaha cantik keturunan Makassar-Tionghoa yang terlibat kasus
penyelundupan. Wanita itu meminta Hoegeng menghentikan kasus itu.
Berbagai hadiah mewah dikirim ke alamat Hoegeng. Namun dia menolak
mentah-mentah. Hadiah itu langsung dikembalikan. Tapi si wanita tak
putus asa. Dia terus mendekati Hoegeng.Yang membuat Hoegeng heran, malah
koleganya di kepolisian dan kejaksaan yang memintanya melepaskan wanita
itu.
Marahi Anak Buat SIM Lewat Calo
Pernah suatu kali anaknya memperoleh sebuah sepeda yang di masanya
sangat keren dan mahal. Entah dari siapa. Hoegeng menolak sepeda itu dan
diletakkannya begitu saja di depan rumah. Lebih ekstrem lagi, suatu
kali anaknya pernah mengurus SIM dengan cara cepat menggunakan jasa anak
buahnya. Namun, entah darimana Hoegeng tahu perbuatan anaknya itu. Saat
SIM selesai dibuat, ia segera menelepon polisi yang mengurusi pembuatan
SIM agar tidak memberikan anaknya SIM sebelum mengikuti prosedur yang
berlaku. Lebih dari itu, anak kesayangannya pun ditegur keras.
Jenderal Jalanan
Hoegeng tak hanya dikenal jujur. Dia juga tak segan turun ke lapangan
melaksanakan tugas sebagai polisi. Meski berpangkat jenderal, dia tak
segan turun ke jalan mengatur arus lalulintas.
Menurut Hoegeng, seorang polisi adalah pelayan masyarakat. Mulai polisi
berpangkat terendah sampai tertinggi. Sehingga, dalam posisi sosial
demikian, seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal. "Jika
terjadi kemacetan di sebuah perempatan yang sibuk, dengan baju dinas
Kapolri, Hoegeng akan menjalankan tugas seorang polantas di jalan raya.
Itu dilakukan Hoegeng dengan ikhlas seraya memberi contoh kepada anggota
polisi yang lain tentang motivasi dan kecintaan pada profesi," demikian
ditulis dalam buku Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif
para pemimpin bangsa. Hoegeng juga selalu tiba di Mabes Polri sebelum
pukul 07.00 WIB. Sebelum sampai di kantor, dia memilih rute yang berbeda
dan berputar dahulu dari rumahnya di Menteng, Jakarta Pusat. Dia selalu
ingin memantau lalulintas dan kesiapsiagaan aparat kepolisian di jalan.
Upeti Raja Judi
Ini kisah Hoegeng saat masih berpangkat Kompol. Kala itu warsa 1955. Dia
mendapat perintah pindah ke Medan. Dia ditugasi membongkar
penyelundupan dan perjudian. Para bandar judi telah menyuap aparat di
Medan. Sehingga pisau keadilan menjadi tumpul. Hoegeng diangkat menjadi
Kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumut. Dia pindah dari Surabaya
ke Medan. Dan belum punya rumah dinas. Baru saja Hoegeng mendarat di
Pelabuhan Belawan, utusan seorang bandar judi sudah mendekatinya. Utusan
itu menyampaikan selamat datang dan juga mengatakan sudah ada mobil dan
rumah untuk Hoegeng hadiah dari para pengusaha. Hoegeng menolak dengan
halus. Dia memilih tinggal di Hotel De Boer menunggu sampai rumah
dinasnya tersedia. Kira-kira dua bulan kemudian, saat rumah dinas di Jl
Rivai siap ditinggali, Hoegeng terkejut bukan kepalang. Rumah dinas itu
sudah penuh barang-barang mewah. Ternyata barang itu lagi-lagi hadiah
dari para bandar judi. Utusan yang menemui Hoegeng di Pelabuhan Belawan
datang lagi. Tapi Hoegeng malah meminta agar barang-barang mewah itu
dikeluarkan dari rumahnya. Hingga waktu yang ditentukan, utusan itu juga
tidak memindahkan barang-barang mewah tersebut. Sehingga dia
memerintahkan polisi pembantunya dan para kuli angkut mengeluarkan
barang-barang itu dari rumahnya. Diletakkan begitu saja di depan rumah.
Hoegeng geram mendapati para polisi, jaksa dan tentara disuap dan hanya
menjadi kacung para bandar judi. "Sebuah kenyataan yang amat memalukan,"
ujar Hoegeng.
Polisi Jangan Mau Dibeli
Mantan Kapolri Jenderal Polisi Widodo Budidarmo punya kenangan soal
Hoegeng. Widodo ingat betul pesan Hoegeng padanya. "Mas Widodo jangan
sampai kendor memberantas perjudian dan penyelundupan karena mereka ini
orang-orang yang berbahaya. Suka menyuap. Jangan sampai polisi bisa
dibeli," tutur Widodo menirukan pesan Hoegeng. Widodo tahu Hoegeng tidak
asal memberikan perintah. Hoegeng telah membuktikan dirinya memang
tidak bisa dibeli. Sejak menjadi perwira polisi di Medan, Hoegeng
terkenal karena keberanian dan kejujurannya. Dia tak sudi menerima suap
sepeser pun. Barang-barang hadiah pemberian penjudi dilemparkannya
keluar rumah. "Kata-kata mutiara yang masih saya ingat dari Pak Hoegeng
adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang
baik," kenang Widodo.
Widodo bahkan menyamakan mantan atasannya dengan Elliot Ness, penegak
hukum legendaris yang memerangi gembong mafia Al Capone di Chicago,
Amerika Serikat. Saat itu, mafia menyuap hampir seluruh polisi, jaksa
dan hakim di Chicago. Karena itu mereka bebas menjalankan aksi-aksi
kriminal.
Tapi saat itu Elliot Ness dan kelompoknya yang dikenal sebagai The
Untouchables atau mereka yang tak tersentuh suap, berhasil
mengobrak-abrik kelompok gengster itu. "Pak Hoegeng itu tak kenal
kompromi dan selalu bekerja keras memberantas kejahatan," jelas Widodo.
Sumber : dream.co.id