Sabtu, 11 Januari 2014

Antara Cerita dan Realitas

Kalau kamu mengira bercerita sesuai realitas itu pasti bagus, belum tentu juga.
Kadang ada dalam realitas kehidupan yang lebih memillukan dari fisksi, karena itu kita juga harus pintar menyerap realitas kehidupan yang ingin kita masukkan dalam cerita.
Atau, kalau memang itu realitas kehidupan lebih baik dinyatakan itu realitas kehidupan.

Di Kopdar KBM Bekasi saya sempat menegur seorang peserta yang menuliskan tentang kisah seorang wanita yang kemudian jadi korban KDRT dalam keadaan hamil. Lalu lahir bayinya prematur.
Di situ ditulis berat bayinya hanya 1 kg.
Saya tegur, "Mbok ya jangan berlebihan, kalau prematur ya cukup 2 kg jangan satu kilo, itu berlebihan!"

Tahu apa jawabannya?
"Itu kisah saya, Pak. Berat anak saya waktu lahir benar-benar satu kilogram> Itu dia anaknya." kata si ibu sambil menunjuk anaknya yang ternayata duduk di antara peserta kopdar.

Salah siapa?
Tidak ada yang salah.

Bahwa di dunia ini ada anak lahir 1 kg itu realitas.
Bahwa itu jarang sehingga itu berlebihan itu juga realitas.

Jadi bagaimana solusinya?
Ya kalau mau tetap angka 1 kg dipakai maka harus ditulis sebagai a true story atau kisah nyata.
Tapi kalau mau digarap sebagai cerpen, maka angka harus diwajarkan.

Di dunia nyata memang ada orang yang pergi ke pasar tiba-tiba tertiban tiang dan mati.
Tapi kalau kita masukkan dalam cerpen kesannya dipaksakan.

Intinya, gak semua realitas kehidupan selalu tepat jika diserap masuk ke cerita.
Kita harus sesuaikan dengan setting.

Menurutmu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar